Saat itu akhir bulan November 2019, saya sedang menikmati waktu luang dengan menjelajahi linimasa Twitter. Entah siapa yang mencuitkan ulang, saya lupa. Tiba-tiba melintas sebuah unggahan mengenai Biennale Jatim 8. Langsung saja saya menghubungi beberapa teman untuk memastikan unggahan ini. Akhirnya dikirim tiga tangkapan layar dari unggahan Instastories. Tampak jelas dari huruf dan warna latarnya. “Nyoh panganen jagung sak rambute!” begitu kira-kira headline dengan blok warna hijau itu. Di Instastories tersebut, dijelaskan secara singkat dan menggebu-gebu perihal Biennale Jatim 8 yang akan segera diselenggarakan. Ajakan ini langsung membakar semangat untuk ikut serta. Namun, kesadaran diri mengingatkan untuk tetap hati-hati dalam menanggapi. Beberapa hal dalam narasi ajakan itu patut ditelisik kembali.
Apakah ini legal? Tentu ini menjadi pertanyaan personal bagi saya yang tidak aktif dalam lingkar ekosistem kesenian Jawa Timur. Berkaca dari biennale lain di Indonesia, dengan organisasi legal-formalnya dalam bentuk yayasan, mereka bisa mendapat dukungan dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Kenapa pertanyaan legal ini menjadi penting, tentu saja karena penamaan biennale itu sendiri sudah memiliki posisi yang mapan, yang membuatnya memiliki kemampuan untuk melegitimasi keberadaan karya seni berikut seniman yang terlibat di dalamnya.
Menghancurkan pemahaman yang sakral, haruskah dibuat secara terstruktur? Perihal kesakralan ini memang menjadi perhatian beberapa pihak. Ini adalah konstruksi yang sudah mapan dari tiap agen yang berkelindan dalam dunia kesenian. Menurut Bourdieu, tatanan mapan, dan distribusi modal yang menjadi pondasinya, saling menguatkan melalui efek simbolis yang didapat setelelah dilempar ke publik… ( Boudieu, 1990:135). Kedua hal tersebut samar, sehingga seringkali tidak dikenali, tapi diakui. Untuk itu, jangan sampai lupa untuk memahami keberadaan struktur hierarkis kelas yang menjadi bagian dari kemapanan ini. Hal ini perlu dipehatikan, karena menghancurkan pemahaman yang sakral tidak semata-mata tentang pencerahan, tapi juga bagaimana menentang tatanan mapan dari modal-modal kuat yang terdistribusi di dalamnya.
Kemudian perihal struktur ini menjadi bahasan lain lagi. Secara keorganisasian, keberadaan stuktural yang solid menjadi penting untuk melandasi setiap praktik dan proses yang dilakukan. Pada akhirnya, dapat diketahui struktur ini tidak pernah ada dalam riwayat keberadaan Biennale Jatim. Sebagai sebuah perhelatan yang dicurigai bersifat eksklusif, Biennale Jatim tidak pernah memiliki struktur organisasi yang solid dan bekelanjutan, hal tersebut menjadi sebab munculnya tuduhan: jangan-jangan, bagi-bagi pengampu saja. Melihat adanya dualisme kekuatan besar institusi perguruan tinggi seni di Surabaya sebagai pusatnya.
Penghancuran pemahaman bahwa biennale harus melibatkan “duit gede” ini juga problematis, karena persoalan ekonomi ini tetaplah menjadi satu modal penting, bahkan paling penting sebagai bahan bakar sebuah pergerakan. Mungkin satu-dua kali kita bisa bertahan dengan tanpa melibatkan “duit gede” ini. Tapi bisa disepakati juga bahwa semakin besar modal ekonomi yang dimiliki, memungkinkan progresivitas yang lebih tinggi dari sebuah pergerakan.
Kemudian disebutkan juga persoalan pemahaman konvensional tentang ruang, bentuk karya dan kegiatan. Sayangnya hal penting ini tidak diberikan penjelasan yang memadai. Ungkapan “…ingin kami geser ke arah yang ambyar nanging demokratis…” pada tangkapan layar Instastories ini rancu tapi juga demokratis, karena demokratis menjadi kata kunci yang selalu bisa dibicarakan.
Mempertanyakan ajakan untuk menjadi rekan penyelenggara Biennale Jatim 8 ini menjadi penting, tapi bukan berarti kemudian kita harus acuh bahkan melawannya. Semangat yang telah dibakar di awal tadi tidak padam semata-mata karena perbedaan pendapat atas narasi yang singkat terbatas dalam tangkapan layar Instatories ini. Dengan gerakan yang taktis, lingkaran inisator bertanggung jawab atas ide yang dilempar ke publik. Langkah awalnya membuat akun resmi sebagai pusat informasi, kemudian membuka diri untuk bantuan-bantuan yang sekiranya dibutuhkan, sekaligus memperbesar lingkaran dan dukungan dari berbagai perangkat seni budaya di kabupaten-kota lain di Jawa Timur. Penting juga melihat pergerakan ini sebagai upaya untuk memotong umur penokohan yang telah berlangsung dalam perhelatan yang sama.
Pada tangkapan layar berikutnya, narasinya lebih singkat tapi kuat dengan dua kata kunci: pemetaan dan gas tok (yang akhirnya menjadi slogan atau tajuk dari Biennale Jatim 8 ini). Pemetaan ini sangat kontekstual dengan geliat kesenian di Jawa Timur yang rasanya adem ayem saja. Pemetaan menjadi upaya tepat guna dalam cita-cita besar untuk menghancurkan pemahaman sakral dan terpusat dari keberadaan biennale. Secara praktik dan geografis, Jawa Timur memang tidak bisa mengadopsi mentah-mentah perhelatan biennale lainnya di Indonesia.
Sebut saja Biennale Jogja atau Jakarta Biennale. Meskipun sama-sama setingkat provinsi, namun luasan geografis, konteks, dan wacana yang diwadahi berbeda. Ketika membicarakan persoalan urban, mungkin yang relate dengan Jakarta, hanyalah Surabaya. Secara praktik kesenian, Yogyakarta menarik untuk dijadikan tolok ukur. Tapi apakah infrastruktur kesenian di Jawa Timur selengkap itu? Sosiokultur masyarakatnya? Jawa Timur pun jauh lebih beragam daripada Yogyakarta (DIY). Bahkan, kita masih bisa mengelompokkan lagi Jawa Timur menjadi beberapa area sub-kebudayaan imajiner, seperti yang urban-industri di utara, ada Madura yang terpisah daratan, daerah Tapal Kuda, hingga Mataraman.
Pemetaan kantung-kantung seni harus disepakati menjadi kata kunci yang penting, bahkan sangat penting sebelum perhelatan biennale diadakan. Penggunaan tajuk biennale menjadi modal simbolik dengan daya tawar tinggi dalam rangka memantik pergerakan dari pelaku seni di berbagai daerah. Gayung bersambut, para pelaku kesenian merespons seperti kehausan. Mungkin perbincangan tentang perhelatan Biennale Jatim 8 sudah menjadi gosip di masing-masing lingkaran kota-kabupaten di Jawa Timur.
Setelah menjadi pemantik, Biennale Jatim 8 memposisikan diri sebagai media publikasi dan penanggung jawab pascakegiatan. Hal ini menjadi tawaran pertama dalam upaya reposisi visi dan bentuk Biennale Jatim ke depan. Untuk memperjelas, reposisi ini bukan menempatkan diri kembali pada posisi yang mapan (meskipun posisi mapan Biennale Jatim ini perlu dipertanyakan), tapi lebih pada penempatan posisi yang berbeda atau baru bagi Biennale Jatim itu sendiri. Reposisi tentu harus selaras dengan visi yang jelas, tegas, yang tentunya memerlukan waktu dan langkah jitu.
Untuk itu, dengan semangat yang sama, dalam rangka bersama-sama mengupayakan posisi baru ini, pertanyaan-pertanyaan di awal tadi perlu disimpan dulu untuk didialogkan kemudian. Biennale Jatim kali ini sepertinya lebih bijak jika dimaknai sebagai sebuah bentuk perayaan dalam upaya pemetaan dan membangun jejaring seni budaya di Jawa Timur. Sebanyak 65 kegiatan dari 15 kota-kabupaten terdaftar menjadi bagian perhelatan Biennale Jatim 8. Jumlah ini belum separuh dari total kota-kabupaten di Jawa Timur. Untuk agenda yang sangat mendadak dan spontan, hal ini perlu diapresiasi. Keterbatasan waktu, tenaga, dana, hingga ekosistem dan infrastuktur seni budaya di masing-masing daerah tidak mengurungkan penyelenggara kegiatan untuk ikut merayakan Biennale Jatim 8 ini.
Momentum ini tidak boleh disia-siakan. Kritik yang dihasilkan mungkin sebanyak apresiasi yang diterima, bahkan mungkin cenderung lebih banyak. Berikut pertentangan perihal keberadaan Biennale Jatim 8 itu sendiri yang masih terus bergulir bahkan jauh setelah acaranya berakhir. Ide untuk berhenti berdebat secara virtual dan memulai dialog-dialog fisik menjadi penting untuk ditindaklanjuti. Jalan masih panjang dan tantangan seperti minimnya infrastruktur, jaringan, produksi bahkan pertukaran pengetahuan seni budaya harus dihadapi bersama. Apresiasi menjadi tidak relevan lagi jika kita tidak siap dengan kritik dan evaluasi. Terlalu naif jika menaruh beban sebesar ini pada segelintir orang di balik Biennale Jatim 8. Untuk menjaga nafas pergerakan ini tidak berhenti menjadi romantisasi kedaerahan saja, perlu upaya bersama yang nyata dari tiap daerah, komunitas, hingga individu sebagai bagian yang paling subtil dari ekosistem seni budaya ini.
Pusat, Tidak Terpusat, Membangun Pusat-Pusat Baru
Pemetaan sudah dilakukan, apresiasi sudah dikonsumsi, penyelenggara harus bergegas menelaah kritik kemudian melakukan refleksi dan evaluasi. Biennale Jatim memang tidak bisa mengadopsi mentah-mentah perhelatan serupa, tapi penting menjadikannya sebagai bahan refleksi. Dari bentuk perhelatan, manajemen, hingga ekosistemnya bisa di amati dengan teliti. Bentuk perhelatan yang sebelumnya masih terpusat ini masuk dalam tawaran reposisi oleh Biennale Jatim 8. Meskipun pada praktiknya tidak semudah itu untuk menghancurkan keberadaan imaji tentang pusat.
Secara lokasi memang sudah lebih tersebar, sesuai dengan tawaran konsep biennale yang baru ini. Tapi apakah persoalan pusat ini bisa dileburkan? Sebelumnya, mungkin perlu kita pertanyakan ulang dari awal dan dasar, seni yang seperti apa? Tentunya ini penting untuk dimaknai kembali. Anggaplah persoalan pusat ini telah dihancurkan dengan kegiatan yang sudah menyebar, selanjutnya adalah bagaimana persebaran tersebut bisa berkelanjutan?
Partisipasi menjadi kata kunci berikutnya yang penting untuk ditindaklanjuti. Alih-alih menghancurkan pusat, lebih menarik sepertinya untuk membangun pusat-pusat baru. Menciptakan ekosistem yang solid dalam merespons kehidupan sosiokultur daerahnya. Bukan untuk pengelompokkan yang malah membangun tembok pembatas, tapi komunitas yang saling terhubung dalam jaringan yang meluas.
Bisa dipahami bagaimana keterbatasan Biennale Jatim 8 dalam rangka merangkul tiap kegiatan yang diselenggarakan. Teknologi komunikasi saat ini memang sangat membantu kita untuk saling terkoneksi dalam membangun jaringan. Tapi pertemuan fisik masih memegang peranan penting dalam proses pertukaran pengetahuan dan pengetahuan, bahkan dari hal yang remeh tentang menghargai sebuah kegiatan. Tentunya mobilisasi dalam rangka memenuhi kehadiran dan pertemuan fisik ini pun memerlukan modal ekonomi sebagai bahan bakarnya.
Seperti yang dituliskan Becker, secara ekonomi, uang yang tidak memadai memang bukan hal yang fatal, meskipun itu mengakibatkan ketidakleluasan yang serius (Becker, 2008:90). Daripada mengeluarkan effort yang lebih untuk berusaha sendiri, dukungan dana dari pemerintah atau sumber lainnya bisa dimanfaatkan, sehingga kita bisa lebih berfokus pada pergerakan reposisi ini. Masalahnya, tidak semua pelaku dalam ekosistem seni budaya di Jawa Timur memahami nihilnya dana untuk kegiatan ini, meskipun hal tersebut telah diinformasikan. Bisa jadi persoalan dana ini menjadi salah satu faktor bagi kota-kabupaten yang belum berpartisipasi.
Para penyelenggara dari Kota-kabupaten yang ikut serta merayakan Biennale Jatim 8 dengan swadaya dan upaya masing-masingnya mungkin sudah memahami kondisi ini. Ada kemauan dan kemampuan untuk mengangkat aktivitas seni budaya di derahnya masing-masing. Sayangnya, sifat eksklusif dari biennale menjadikan kegiatan atau karya seni yang diikutsertakan dalam Biennale Jatim 8 ini pun dicurigai banal. Kelayakan dari proses kuratorial berikut manajemen seninya dipertanyakan. Dalam bukunya yang berjudul Art Worlds (2008), Becker menjelaskan perihal aktivitas estetika ini. Premis dan argumen dari studi para ahli estetika sering digunakan untuk menjustifikasi pengelompokan aktivitas estetika sebagai sesuatu yang: indah, artistik, seni, bukan seni, seni yang baik, buruk, dan sebagainya. Mereka mengonstruksi sistem justifikasi yang memutuskan reputasi bagi karya seni dan seniman. Hal ini terjadi utamanya pada dunia seni yang kompleks dan mapan, mereka membangun sistem estetika yang terorganisir secara logis dan filosofis. Perihal estetika ini tentu tidak boleh diabaikan, tetapi mencurigai banal tanpa melalui proses pembacaan yang memadai adalah bentuk lain dari penindasan atas konstruksi mapan, dominan, dan legitimated dari biennale.
Tanpa tendensi semata-mata untuk menentang tuduhan banal tersebut. Pengetahuan tentang manajemen seni, kurasi, dan aktivitas lain dalam skena seni budaya harus semakin gencar dipertukarkan. Pelaku seni budaya di Jawa Timur tidak bisa terus memproduksi karya seni tapi abai dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang berkaitan dan mendukung perkembangan aktivitas ini. Kelas-kelas seni secara praktik harus dilahirkan, supaya tidak hanya bertumpu pada insititusi pendidikan seni. Hal ini dibutuhkan sebab dinamika dunia seni di lapangan sering kali berbeda dengan apa yang diajarkan di kelas. Bukan semata-mata melawan institusi yang mapan, ruang-ruang di luar itu bisa memberikan perspektif yang berbeda untuk kemudian dikolaborasikan.
Kita harus memahami konstruksi ruang ini sebagai sesuatu yang diperjuangkan atau diklaim, alih-alih ‘hanya ada’ atau ‘diberikan’ (Johnson, dkk., 2004:123). Merrifield menekankan dalam bukunya, Henri Lefebvre: A Critical Introduction (2006), bahwa sekarang ruang telah diinterpretasikan ulang bukan sebagai benda mati atau sekedar objek tapi sebagai sesuatu yang organik dan hidup: ruang memiliki denyut nadi, berdebar, mengalir, bahkan saling bertabrakan. Pemahaman tentang konsep ruang yang ambyar menjadi satu poin penawaran dalam perhelatan Biennale Jatim 8 ini, namun konsep tersebut rasanya masih perlu didiskusikan lebih intens lagi. Pemahaman dan kesadaran akan ruang inilah yang akan menjadi poros penting dari upaya reposisi pergerakan ini.
Bergerak di Selatan, Partisipasi dan Jaringan
Setelah pemetaan, sebagai langkah awal pergerakan, usai dilakukan. Tumbuh dan berkembangnya ruang-ruang berikut aktivitas di dalamnya menjadi penting untuk ditindaklanjuti. Menarik diri sedikit ke luar dan melihat apa yang telah terjadi setelah pergerakan dimulai menjadi stand point yang perlu dicoba dalam rangka mendapatkan perspektif yang lebih luas dan terbuka. Ketika mempertanyakan keberadaan eksklusivitas dari high maintenance art, rasanya perlu juga mempertanyakan apakah praktik-praktik seni yang telah dilakukan juga eksklusif, hanya berbeda skala saja. Jangan-jangan ini semua cuma ekses kecemburuan? Jangan-jangan ini cuma pertarungan yang lumrah terjadi di medan seni budaya saja? Toh lagi-lagi yang diuntungkan hanya segelintir pihak saja.
Sulit untuk membantah konstruksi sakral nan abstrak yang terus dilanggengkan ini. Objektifikasi dan eksotisasi menghantui. Kecurigaan eating the others datang dari sana-sini. Harus diakui masyarakat kita semakin kritis, juga sensitif. Baik dan buruk itu ditentukan oleh persepsi yang melihat. Praktik seni budaya tidak bisa berhenti di perputarannya sendiri saja. Semua pihak perlu membuka diri untuk meleburkan batas-batas seni, apalagi di era prosumer yang telah berlangsung ini. Upaya mengkotakkan kesenian sebagai seni rupa dengan produknya seni lukis saja adalah pemikiran yang tertinggal. Berkaca dari perkembangan seni global, ternyata di tengah akses yang semakin terbuka terhadap pengetahuan dan informasi, pemahaman banyak pelaku seni budaya di Jawa Timur terpaut cukup signifikan terhadap berbagai isu, pemaknaan, pemahaman dan praktik seni dunia. Minim bahkan nihilnya ruang kreatif di tiap sebagain besar kota-kabupaten menjadi satu faktor utama dari cupetnya pemahaman dan pengetahuan tentang seni budaya global ini.
Untuk itu, keberadaan ruang spasial maupun sosial yang aman dan nyaman bagi para pelaku untuk berkegiatan bersama menjadi sebuah keharusan. Pertanyaannya berikutnya adalah ruang seperti apa yang harus diupayakan oleh para pelaku seni budaya di Jawa Timur. Nadolny, dalam tulisannya yang berjudul Henry Lefebvre’s Concept of Urban Space In The Context of Preference Of A Creative Class in Modern City, menjelaskan dengan sederhana perihal ruang kreatif dan kota. Menurutnya, sesuai dengan konsep ruang yang dipresentasikan oleh Lefebvre, gagasan dasar yang membimbing kelas kreatif adalah menyuarakan harapannya tentang kota dan apa yang harus ditawarkan sebagai unit spasial. Dimana, Lefebvre percaya bahwa ruang harus menampilkan apa yang disebut surplus of art, yang selanjutnya menjadi indikator daya tarik kota. Sudut pandang ini berjalan dengan baik melalui refleksi tentang penggunaan seni sebagai indikator kualitas ruang. Untuk memenuhi ekspektasi kelas kreatif berikut semua jenis interaksi yang terjadi di dalamnya, ruang publik harus multidimensional. Dalam kaitannya dengan seni, perencanaan ruang publik dapat secara signifikan memperluas ruang lingkup kegiatan spasial yang bisa dilakukan.
Ketika bergerak dalam satu teritori dengan berbagai alasannya, sudah selayaknya para pelaku seni budaya merespons ruang dan sosiokultur tempatnya beraktivitas. Baik mereka yang dominan atau termarjinalkan, kelas bawah-menengah-atas, mencerminkan keberadaan sistem kelas yang rasanya semakin mapan saja. Keberadaan patron-patron, terutama pada ekosistem seni budaya di Indonesia harus dipahami keberadaannya. Pergerakan ini sepertinya sulit untuk dilakukan jika terlalu idealis, apalagi sendirian, tanpa kerjasama dan dukungan dari para pemangku kepentingan. Memang umum diketahui, dalam frasa pemangku kepentingan, ada kata kepentingan yang memiliki tendensi personal-golongan bahkan bisa saling bertentangan. Tetapi sebagai bahan pertimbangan, daripada modal-modal yang ada disalahgunakan, memanfaatkannya untuk pergerakan kreatif akan menjadi pilihan yang lebih bijak, bukan?
Perihal ruang ini juga tentang respons kita terhadap apa yang ada di sekitar kita tentunya. Tetapi masalah siapa yang merespons dan direspons ini perlu terus dipertanyakan ulang. Seperti ketika memproduksi karya seni, seniman yang merespons penonton atau sebaliknya? Berkaitan juga terhadap referensi yang beragam dari praktik-praktik kesenian yang ada, apakah kita bisa mentah-mentah menyajikan karya seni dengan mengabaikan siapa yang akan menontonnya? Praktik kesenian di Tulungagung misalnya, apakah bisa meniru mentah-mentah praktik yang dilakukan di Surabaya, yang notabene lebih eksperimental dan berkaitan erat dengan isu-isu urban? Di titik ini kita perlu menyepakati penonton adalah partisipan. Era prosumer dan praktik partisipasi ini tidak boleh diabaikan.
Menurut McCarthy dan Jinnet dalam laporan yang berjudul A New Framework for Builing Participation in the Arts (2001), menekankan bahwa penonton adalah partisipan-seni dengan perbedaan skala atau level keterlibatan. Mereka membaginya ke dalam tiga jenis partisipasi: (1) Langsung, ikut serta dalam praktik (bisa dalam mengikuti diskusi atau lokakarya, atau bahkan sampai memproduksi karya seni); (2) Kehadiran (penonton di ruang dan lokasi pameran atau pertunjukan), dan (3) Media, di era ini, partisipasi penonton bisa dilakukan dengan melihat unggahan Instagram atau Facebook misalnya. Berdasar literasi yang ada, terdapat dua dimensi yang berbeda atas pilihan partisipasi: (1) sebagai bentuk hiburan dan (2) berkaitan dengan konteks sosial. Selanjutnya, berdasar dua dimensi tersebut dapat dibuat tabel kerangka level partisipasi seperti di bawah ini:
|
| Apa yang Dicari | |
|
| Hiburan | Pemenuhan Hasrat |
Preferensi Partisipasi | Pengembangan Keterampilan (Fokus Personnel) | Partisipasi Melalui Media | Partisipasi Langsung |
Pengalaman Sosial | Kehadiran (Santai) | Kehadiran (Antusias) |
Poin dasar ini perlu dipahami terutama bagi praktisi yang ada di daerah dengan infrastruktur seni budaya tidak memadai. Dengan segala keterbatasan yang ada, rasanya perlu dipikirkan ulang bentuk-bentuk karya dan kegiatan, jangan justru membuat jarak dengan masyarakat melalui pelanggengan posisi seni yang eksklusif, elit, dan cenderung abstrak. Persoalan partisipasi personal dan ruang, sekali lagi, jangan hanya berputar dalam satu lingkaran praktik yang sama. Jaringan ini sudah seharusnya lebih luas dan multidisiplin. Memahami konteks sosial, politik, dan ekonomi di lingkungan sekitar sebagai ruang fisik yang terpaut realitas keseharian seharusnya menjadi sebuah kesadaran yang tidak bisa diabaikan. Identifikasi sosial macam ini berguna untuk diolah menjadi strategi artistik dalam rangka meningkatkan partisipasi-seni dari masyarakat.
Dunia seni tentu saja terus bergerak dan berkembang. Apresiasi dan kritik harus berjalan adil, bukan sekadar seimbang. Tak perlu repot-repot menciptakan ekosistem seni budaya yang inklusif dan aktif jika produknya hanya dimaknai sebagai sesuatu yang keren saja. Sudah seharusnya pemikiran ini dikubur dalam-dalam, biarkan mati seiring proses berjalan. Reposisi ini bukan hanya tentang perhelatan Biennale Jatim saja, tapi juga semua hal yang berkelindan di dalamnya. Pelaku, partisipan, hingga para pemangku kepentingan menjadi subjek-subjek yang harus aktif memperjuangkan tujuan ini bersama. Pembacaan dan pemahaman ruang menjadi langkah berikutnya yang harus diambil dalam rangka menciptakan ruang kreatif yang responsif terhadap lingkungannya. Menghancurkan pemahaman dan konstruksi sakral yang sudah mapan memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Bagaimana pun juga, langkah pertama telah dilakukan, pilihannya adalah bersama melanjutkan atau mundur menjijikkan.
That was the end of November 2019, I was enjoying my leisure time with exploring my timeline on twitter. I don’t know who tweeted again, Im forgot. Accidentally pass a post abaout the Biennale Jatim 8. Then Im directly contact to some of my friend in a purpose to make sure about this post. Finnaly I receive three captured of instastories. It is clearly enough from the letter and the color background. “Here! Eat them all, the corn and the hair!” I think how is the headline looks like with a green color block. In these instastories, explained a brief and passionate about the matter Biennale Jatim 8 which will be held soon. This invitation directly burn all the spirit to join the event. But, self-awareness reminds to remain careful in responding. Some the matter in the invitation narrative should be examined again.
Is it legal? Surely this is being a personal question for me which Im not active in the circle of art ecosystem in East Java. Look at the mirror from the other biennale in Indonesia, with all the legal organization-formal in a shape of foundation, they can get a support from the government and the other handler interest.why this legally question being important, surely because the Biennale it self has an important position, which makes it has the ability to legitimize the existence of works of art and the artists involved in them
Destroying all the sacred understanding, is it must to be planned in a structured way? Sacred it self is being attention for several parties. This is an established construction of each interconnected agent in the world of art. According to Bourdieu, order is established, and distribution the capital which is the foundation, strengthens each other through the symbolic effect which is obtained after thrown to the public … (Boudieu, 1990: 135). Those two things are blurry, so ofenly they are not recognized, but kown. For this reason, don’t forget to understand the existence of hierarchical structures class that is part of this establishment This needs to be watch out, because it is destructive Sacred understanding is not solely about enlightenment, but also how to oppose an established order of strong capital that is distributed in it.
Then about the structure s become another topic to discuss. Organizationally, structural existence solid is important to underlien every practice and process undertaken. Finally, it can be seen that this structure has never existed in the history of the existence of the East Java Biennale. As an event that is suspected of being exclusive, Biennale Jatim has never owned it a solid and sustainable organizational structure, this has led to accusations: lest, just for the member. Seeing the dualism of the power of the institution art college in Surabaya as its center.
Destroying the understanding that the Biennale must involve “big money” is also problematic, because this economic problem remains an important capital, even the most important as fuel a movement. Maybe one or two times we can survive without involving This “big money”. But it can also be agreed that the greater of the economic capital owned, enables higher progressivity of a movement. Then also mentioned the problem of conventional understanding of space, forms of work and the activities. Unfortunately this important matter is not given an adequate explanation. The phrase “… wants
we move the direction of being broken democratic … ”in this screenshot the Instance is broken but also democratic, because democracy is a key word that can always be discussed.
Questioning the invitation to become a co-organizer of the East Java 8 Biennale is important, but that does not mean then we should be indifferent and even fight it. The spirit that has burned in the beginning was not quenched solely because differences of opinion over the short narrative were limited in this screenshot of Instatories. With tactical movements, the circle of initiators is responsible responsible for ideas thrown to the public. The first step is to create an official account as a center information, then open yourself to the assistance if needed, at once enlarge the circle and support of various cultural art tools in other districts in East Java. It is also important to see this movement as an effort to cut the age characterizations that have taken place in the same event.
In the next screenshot, the narration is shorter but stronger with two keywords: mapping and gas tok (which eventually became the slogan or header of the Biennale Jatim 8). This mapping is very contextual with stretching art in East Java that it feels cool just calm. Mapping to be effective effort in the great ideals to destroy the sacred and centralized understanding of the existence of the Biennale. In practice and geographically, East Java cannot indeed adopt another Biennale event in Indonesia.
Call it the Jogja Biennale or the Jakarta Biennale. Although both provincial level, however geographical area, context, and discourse that are accommodated differently. When talking about problems urban, maybe related to Jakarta, only Surabaya. In practice art, Yogyakarta interesting to be used as a benchmark. But is the art infrastructure in East Java as complete as that? The socioculture of the people? East Java is also far more diverse than Yogyakarta (DIY). Even, we can still group East Java back into several imaginary sub-cultural areas, like the urban-industrial ones in the north, there is a separate land Madura, Horseshoe area, up to Mataraman.
Mapping art bags must be agreed to be an important, even very important keywordimportant before the biennale event was held. The use of the Biennale canopy becomes symbolic capitalwith high bargaining power in order to ignite the movement of art performers in various regions. Tit for tat, the actors responded like thirst. Maybe a conversation about the Biennale Jatim 8 event has become a rumor in each city circle- district in East Java.
After becoming a lighter, biennale Jatim 8 positioned itself as a media publication and post-activity responsible person. This becomes the first offer in an effort to reposition vision and the form of the Biennale Jatim going forward. To clarify, this repositioning is not putting yourself back in an established position (although this Biennale’s Jatim well-established position needs to be questioned), but more in the placement of different or new positions for the Biennale Jatim itself. Reposition certainly must in harmony with a clear, decisive vision, which certainly takes time and surefire steps.
For this reason, in the same spirit, in order to jointly pursue this new position, the questions at the beginning need to be saved first for dialogue later. Biennale Jatim this time it seems wiser if interpreted as a form of celebration in the effort of mapping and building cultural arts networks in East Java. A total of 65 activities from 15 city-districts registered as part of the Biennale Jatim 8 event. This amount is not yet half of the total city- district in East Java. For a very sudden and spontaneous agenda, this is necessary appreciated. Limited time, energy, funding, to the ecosystem and cultural arts infrastructure in each region did not stop the organizers of activities to participate in celebrating the Biennale Jatim 8.
This momentum should not be wasted. The resulting criticism may be as much an appreciation accepted, maybe even more likely. The following contradictions about existence Biennale Jatim8 itself, which continues to roll even after the event ends. Idea to stop arguing virtually and start physical dialogues to be important to followed up. The road is still long and challenges such as lack of infrastructure, networks, the production and even the exchange of cultural arts knowledge must be faced together. Appreciation to be irrelevant if we are not ready for criticism and evaluation. Too naive to put a burden of this size to a handful of people behind the Biennale Jatim 8. To maintain breathing this movement does not stop being just romanticizing the region, it needs real joint efforts from each region, community, to individuals as the most subtle part of this art and culture ecosystem.
Central, Not Centralized, Building New Centers
Mapping has been done, appreciation has been consumed, organizers must hurry to examine the critics then reflect and evaluate. East Java Biennale indeed cannot adopt raw a similar event, but it is important to make it as a material for reflection. From form events, management, to the ecosystem can be observed carefully. The form of the event previously it was still centrally included in the offer of repositioning by the Biennale Jatim 8. the practice is not that easy to destroy the existence of the central image.
The location is indeed more scattered, according to the offer of this new Biennale concept. But can this central problem be merged? Previously, maybe we need to re-question from the beginning and the basis, what kind of art? Surely this is important to be reinterpreted. Suppose it this central issue has been destroyed by activities that have spread, the next is how can this distribution be sustained?
Participation is the next important keyword to follow up on. Instead destroying centers, more interesting it seems to build new centers. Create a solid ecosystem in responding to the life of the local socioculture. Not for grouping that actually builds a parapet, but a connected community in a widespread network.
It can be understood how the limitations of the Biennale Jatim 8 in order to embrace each of its activities held. Communication technology nowadays really helps us to be mutual connected in building networks. But physical meetings still play an important role in the process of exchanging knowledge and knowledge, even from trivial things about appreciate an activity. Of course mobilization in order to meet the presence and this physical meeting also requires economic capital as fuel.
As Becker wrote, economically, inadequate money is not a thing fatal, even though it results in serious discrepancies (Becker, 2008: 90). Of the spend more effort on their own, financial support from the government or other sources can be utilized, so we can focus more on the repositioning movement. The problem is, not all actors in the arts and culture ecosystem in East Java understand the nil funds for this activity, even though this has been informed. Could be the problem with this fund become one of the factors for cities that have not yet participated.
Organizers from the participating districts and cities celebrated the Biennale Jatim 8self-help and efforts each may have understood this condition. There is a will andthe ability to elevate cultural and artistic activities in their respective regions. Unfortunately, natureexclusively from the biennale makes activities or works of art that are included in the Biennale Jatim 8 was also suspected banal. The feasibility of the curatorial process and its art management be questioned. In his book Art Worlds (2008), Becker explains the matter this aesthetic activity. The premises and arguments of the aesthetic studies are often used for justifies a grouping of aesthetic activities as something: beautiful, artistic, artistic, not art, good, bad art, and so on. They construct a system of justification decide on a reputation for works of art and artists. This happened mainly in the art world complex and well-established, they build a logically organized and aesthetic system philosophical. Regarding this aesthetics, of course it should not be ignored, but it is suspicious of the banal without going through an adequate reading process is another form of suppression of an established construction, dominant, and legitimated from the Biennale.
Without the mere tendency to oppose the banal accusation. Knowledge about art management, curation, and other activities in the arts and culture scene must be more intense exchanged. Artists in East Java cannot continue to produce works of art but are ignorant with other knowledge related to and supporting the development of this activity. Practical art classes must be born, so that they do not only rely on institutions art education. This is needed because the dynamics of the art world in the field are often different with what is taught in class. Not solely against established opponents, spaces beyond that it can provide a different perspective for later collaboration.
We must solve the construction of space as something championed or claimed, instead ‘There is only’ or ‘given’ (Johnson, et al., 2004: 123). Merrifield emphasizes in his book, Henri Lefebvre: A Critical Introduction (2006), now space has been reinterpreted not as inanimate objects or even objects but as something organic and living: spacehave a pulse, pounding, flowing, even colliding with each other. Understanding of concepts the ambiguous space becomes a bid point in the Biennale Jatim event, however the concept still seems to be discussed more intensely. Understanding and awareness of this space will be an important axis of repositioning efforts for this movement.
Moving in the South, Participation and Networking
After mapping, as a first step, the movement is over. Grow and develop spaces and the activities within them are important to be followed up. Pull yourself a little go outside and see what has happened after the movement starts to be a stand point need to be tried in order to get a broader and open perspective. When questioning the existence of exclusivity from high maintenance art, it seems necessary too questioning whether the art practices that have been carried out are also exclusive, only different just scale. Lest this all just an excess of jealousy? Lest this is just a fight which is common in the art and culture field? Yet again only a few benefited party only. It is difficult to argue with this abstract, perpetual sacred construction. Objectification and haunting exotization. The suspicion of eating the others comes from here and there. Must be recognized by the public we are increasingly critical, also sensitive. Good and bad are determined by the perception of the viewer. Practice art and culture cannot stop at its own rotation. All parties need to open themselves to break the boundaries of art, especially in this era of prosumer. To compose art as fine art with its products is just thinking left behind. Reflecting on the development of global art, it turns out amid increasingly open access with respect to knowledge and information, understanding of many cultural and cultural actors in East Java is adrift significant enough to various issues, meaning, understanding and practice of world art. Minimal even the absence of creative space in every major city-district is one of the main factors short-sighted understanding and knowledge of this global art and culture.
For this reason, the existence of spatial and social spaces that are safe and comfortable for the actors to joint activities become a necessity. The next question is space like what must be done by the perpetrators of art and culture in East Java. Nadolny, in his writing entitled Henry Lefebvre’s Concept of Urban Space In The Context of Preference Of A Creative Class in Modern City, explains simply about creative space and the city. according to the concept of space presented by Lefebvre, the basic idea that guides creative classes are voicing their hopes about the city and what it has to offer as spatial unit. Where, Lefebvre believes that space must display what is called a surplus of art, which subsequently becomes an indicator of the city’s attractiveness. This point of view is going well through reflection on the use of art as an indicator of spatial quality. To meet the expectation of a creative class follows all kinds of interactions that occur in it, the public space must be multidimensional. In relation to art, public space planning can be significant expanding the scope of spatial activities that can be carried out.
When moving in a territory with a variety of reasons, it is proper for artists culture responds to the space and socioculture in which it operates. Either those who are dominant or the marginal, lower-middle-upper class, reflects the existence of a class system that feels just getting established. The existence of patrons, especially in the cultural arts ecosystem in Indonesia must be understood its existence. This movement seems difficult to do if it is too idealistic, especially alone, without the cooperation and support of stakeholders. It’s common known, in the phrase stakeholder, there is a word of interest that has a tendency personal groups can even contradict each other. existing capital is misused, using it for creative movement will become wiser choice, right?
About this space is also about our response to what is around us of course. But the issue of who is responding and responding needs to be continually questioned again. Like when producing works of art, artists who respond to the audience or vice versa? Also related to various references to existing art practices, can we be raw-presenting raw artwork by ignoring who will watch it? Practice art in Tulungagung for example, is it possible to imitate the practice practiced at Surabaya, which incidentally is more experimental and is closely related to urban issues? At this point we need to agree that the audience is participants. The era of prosumer and the practice of participation is not may be ignored.
According to McCarthy and Jinnet in a report entitled A New Framework for Builing Participation in the Arts (2001), emphasizes that the audience is participant-arts with different scale or level of involvement. They divide it into three types of participation: (1) Directly, participate in practice (can be in participating in discussions or workshops, or even up to producing artwork); (2) Attendance (audience in the space and location of the exhibition or performance), and (3) Media, in this era, audience participation can be done by watching Instagram uploads or Facebook for example. Based on existing literacy, there are two different dimensions of choice participation: (1) as a form of entertainment and (2) relating to social context. Furthermore, based on these two dimensions, a table of participation level framework can be made as below:
|
| What is wanted | |
|
| Fun | Fulfilling Entertainment |
Preference Participation | Skill Development (Personal Focus) | Participation Through Media | Direct Participation |
Social Experience | Attendance (Relaxed) | Attendance (Enthusiastic) |
This basic point needs to be understood especially for practitioners who are in areas with art infrastructure culture is inadequate. With all the limitations that exist, it seems needs to be rethought forms of work and activities, don’t make distance with the public through perpetuation of the position of art that is exclusive, elite, and tends to be abstract. The issue of personal participation and space, again, don’t just rotate in the same circle of practice. This network it should be broader and multidisciplinary. Understand the social, political, and economic context in the surrounding environment as a physical space that is connected to everyday reality should be a awareness that cannot be ignored. This kind of social identification is useful to be processed into artistic strategy in order to increase the participation of the arts from the community. The art world, of course, continues to move and develop.
Appreciation and criticism must be fair, no just balanced. No need to bother creating an inclusive and active cultural arts ecosystem if the product is only interpreted as something cool. This thought should be buried deep, let it die as the process goes. This reposition is not just about Biennale Jatim event only, but also all the things that are interconnected in it. Culprit, participants, until the stakeholders become subjects that must be active fight for this goal together. Reading and understanding of space becomes a step the next thing that must be taken in order to create a creative space that is responsive to its environment. Destroy understanding and sacred construction that has been established indeed not easy, but that does not mean impossible. After all, the first step has been done, the choice is to continue or retreat disgusting.
Becker, Howard Saul. 2008. Art Worlds. Berkeley: University of California Press.
Bourdieu, Pierre. 1990. The Logic of Practice. Standford: Standford University Press.
Johnson, Richard dkk. 2004. The Practice of Cultural Studies. London: SAGE Publications Ltd.
McCarthy, Kevin F. dan Kimberly Jinnet. 2001. A New Framework for Builing Participation in the Arts.Santa Monica: RAND.
Merrifield, Andy. 2006. Henry Lefebvre: A Critical Introduction. New York: Routledge.
Nadolny, Adam. 2015. “Henry Lefebvre’s Concept of Urban Space In The Context of Preference Of A Creative Class in Modern City” dalam Quaestiones Geographicae 34(2), hal. 29-34. Poznań:
Institute of Socio-Economic Geography and Spatial Management, Adam Mickiewicz University.